Air Hidup Telah Mengalir Sampai Jauh

Oleh P. Ricard Billy, SSCC

Seorang teolog Asia, Kosuke Koyama pernah menulis bahwa “orang yang menarik adalah orang yang mampu melihat di balik yang tampak dan mampu mengkomunikasikan di balik yang tampak itu pada orang lain”. Yesus adalah contoh pribadi yang menarik karena Ia mampu melihat di balik yang tampak, yakni hal-hal yang ordinary—biasa—dalam hidup kita. Ia mampu melihat gambaran hidup manusia dalam bunga yang tumbuh, pagi-pagi berkembang dan berbunga, di sore hari layu dan kering. Ia mampu melihat kualitas iman dan hidup manusia melalui tanah dan benih yang di tanam seorang petani. Setiap proses untuk menjadi pribadi yang baik mengarahkan orang untuk untuk sampai pada hal ini, yakni mampu melihat sesuatu yang inti atau berarti dalam hidup ini.
Kita dalam sebuah pencarian, dalam usaha untuk terus menerus mampu melihat di balik yang tampak. Kita dalam proses mencari tanda-tanda, bahkan dalam hal yang tak kelihatan pun harus ada tanda yang menunjukkan pada kita bahwa ada sesuatu di sekitar kita atau yang sedang berlangsung dalam hidup. Ibarat handphone, di sudut atasnya ada tanda jika ada jaringan dari sebuah operator.

Civita tempat untuk belajar menemukan signal

            Civita Youth Camp menjadi sebuah tempat yang tak terlupakan bagi saya. Dari sinilah saya belajar melihat sesuatu di balik yang tampak. Saya belajar melihat sesuatu di balik hidup yang singkat ini. Saya mengalami tugas di Civita pada akhir tahun 2011 hingga pertengahan tahun 2012. Kurang lebih setahun saya tinggal bersama dan mengalami dinamika kehidupan di tempat ini. Ada banyak kisah yang mewarnai perjalanan hidup saya. Civita, dari nama ini mengandung sebuah harapan seperti ketika seseorang diberi nama. Dari namanya ada harapan yang terkandung di dalamnya, misalnya Wicaksana, orang tua berharap bahwa anak ini akan menjadi pribadi yang bijaksana dalam hidupnya. Civita, benar-benar telah menjadi sumber air yang memberikan kesejukan bagi banyak orang yang dalam kehausan mencari Sang Sumber Air Hidup.
            Di tempat inilah orang datang silih berganti mengambil waktu untuk berdiam diri dan berrefleksi untuk dapat menemukan Dia yang tersembunyi dan menanti untuk ditemukan dalam setiap detik pengalaman hidup manusia. Saya percaya bahwa setiap orang yang datang di tempat ini percaya akan adanya Tuhan, tetapi terkadang mereka sulit mengalami Tuhan karena ada begitu banyak penghalang yang bisa memisahkan mereka dengan Dia.
            Ibarat kisah dalam Markus 12:1-12, tentang orang lumpuh yang sembuhkan. Menarik kalau kita refleksikan kisah itu. Ada teman si Lumpuh yang berusaha membawanya masuk kepada Yesus, namun mereka tidak bisa masuk dan menemui Yesus sehingga mereka harus membongkar atap rumah untuk dapat sampai kepada Yesus. Saya membayangkan bahwa satu di antara teman si Lumpuh adalah pemilik rumah tersebut. Mengapa? Jika bukan salah satu pemilik rumah, maka membongkar atap rumah bisa menjadi sebuah tindakan kejahatan, karena merusak milik orang lain walau pun tujuan mereka untuk membantu orang lain. Tetapi karena seorang di antara mereka adalah pemilik maka dengan leluasa mereka bongkar karena ada yang akan bertangung jawab.
            Apa yang mau dikatakan dari sini dalam kaitan dengan sebuah retret adalah, bahwa mereka yang datang ke Civita atau pun mereka yang sedang retret atau rekoleksi sebetulnya berusaha untuk menemui Yesus dalam hidup mereka. Namun ada penghalang, entah itu karena begitu sibuk, atau pintu masuk rumah mereka sudah tertutup oleh banyak hal. Atap rumah menjadi sebuah simbol kenyamanan. Orang yang berada di bawah atap akan terhindar dari panas terik matahari, hujan atau pun binatang liar dan sebagainya.
            Untuk dapat berjumpa dengan Yesus orang harus membongkar kenyamanan yang ada selama ini. Apa saja atap kenyaman itu? Yakni hal-hal yang menjadi tempat kita menggantungkan harapan. Apakah itu uang, harta benda, orang-orang, kemampuan atau apa? Ketika mengandalkan itu semua dan kita merasa nyaman dengannya, lama kelamaan pintu rumah kita tertutup, walau Yesus berdiam di dalam rumah hati namun sulit untuk dapat duduk bersama-Nya dan mengalami kasih-Nya. Yang saya tahu bahwa Dia ada dalam hidup saya, mungkin itu yang akan kita katakan. Maka untuk dapat sampai pada Yesus, kenyamanan-kenyaman ini yang harus dibongkar. Ketika kenyamanan atau atap tempat kita berlindung dibongkar maka kita tak hanya dapat bertemu dengan Yesus tetapi akhirnya kita juga membawa orang lain mengalami Yesus.
            Dalam permenungan saya Civita telah menjadi sebuah tempat di mana orang belajar untuk melihat atap rumah mana yang perlu ia bongkar sehingga mampu untuk masuk dalam rumah tempat dimana Tuhan berdiam. Tuhan sedang duduk dan menanti untuk ditemui dan tidak dibiarkan seorang diri di dalam sana. Selama setahun di Civita, ada ribuan peserta retret maupun rekoleksi yang datang. Mereka berusaha untuk masuk dalam rumah hati mereka sendiri dan menemukan Yesus di sana. Mereka berusaha untuk mengobati kerinduan hati mereka untuk dapat menemukan Air Hidup.
            
Tujuan mendidik dan bukan menyenangkan peserta
            Hal lain yang menarik bagi saya selama menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di Civita yakni proses pendampingan terhadap peserta retret. Dari banyak kesempatan saya mengikuti retret saya menjumpai bahwa kadang dalam pendampingan, pendamping jatuh pada apa yang disenangi peserta, sehingga pendampingan disesuaikan dengan permintaan peserta retret padahal hal itu belum tentu mendidik. Namun, di Civita, saya menemukan hal sangat berbeda, boleh saya katakan pendampingannya cukup ketat dan benar-benar mendidik.
            Tujuan pendampingan kaum muda adalah untuk mendidik dan bukan menyenangkan peserta, tetapi cara mendidik haruslah menyenangkan sehingga peserta dapat mengikuti proses dengan baik. Pada awal retret biasanya peserta agak sulit menerima berbagai aturan yang ada, namun pada hari terakhir mereka setidaknya ada kesadaran bahwa dengan cara pendampingan Civita mereka telah diajarkan berbagai hal yang dapat berguna untuk kehidupan mereka dalam masa-masa yang akan datang dan masa kini.
            Saya sangat percaya bahwa ketika mengikuti sebuah retret seseorang lalu berubah dengan cepat itu sesuatu yang agaknya luar biasa. Kadang perubahan itu terjadi satu minggu setelah itu kembali seperti dulu.Perubahan itu terjadi melalui suatu proses yang cukup panjang, setelah sekian tahun barulah orang sadar bahwa apa yang pernah mereka terima dalam retret, ternyata berguna untuk hidup mereka lalu mereka berjuang ke arah itu.
            
Menimba air hidup
            Civita tidak hanya menjadi tempat bagi kaum muda untuk menemukan Tuhan dalam hidup mereka, tetapi juga menjadi tempat bagi para pendamping untuk menimba air hidup dan membawa pulang ke tempat masing-masing untuk dibagikan bagi banyak orang yang mendamba akan Dia Sang Air Hidup. Selama di tempat ini, saya belajar bersama dengan romo, suster, frater, dan bruder, dari berbagai tarekat. Cara belajarnya adalah dengan learning by doing karena kita percaya bahwa setiap pribadi tidak pernah datang tanpa sesuatu. Mereka pasti punya sesuatu yang dapat mereka bagikan bagi teman-teman lain yang juga sedang belajar sehingga dapat saling memperkaya di antara pendamping dengan berbagai bentuk permainan maupun model-model pendampingan yang dapat membantu peserta untuk dapat mengerti materi dengan baik.
            Setelah mengikuti kursus selama 3-6 bulan biasanya pendamping dari berbagai tarekat kembali ke tempat masing-masing dari berbagai daerah di seluruh Indonesia dengan membawa pulang bekal yang telah mereka timba selama di Civita. Bekal itu pula yang mereka olah dan disampaikan dalam pendampingan sesuai dengan kebutuhan setempat dan sesuai dengan spiritulitas masing-masing tarekat. Civita telah melahirkan banyak pendamping retret bagi kaum muda, entah yang bertugas di rumah retret maupun yang di asrama atau di sekolah. Air Hidup telah mengalir sampai jauh.
            
Jam 12 malam
            Saya teringat pada sebuah pengalaman bersama anak-anak dari salah satu SD di Jakarta. Mendampingi anak-anak SD merupakan sesuatu yang menyenangkan, karena kita akan masuk dalam dunia yang polos, penuh kegembiraan, spontan, dan banyak hal lain yang tak terduga bisa terjadi. Kamar tempat saya tidur di Civita I bersebelahan dengan kamar peserta, sehingga jika terjadi kegaduhan di malam hari langsung terasa sampai di kamar.
            Beberapa kali, saya bangun tengah malam dan menumpai mereka sedang asyiknya bercerita dan tertawa sambil makan dan minum di ruang makan. Saya tegur mereka sekali, saya masih baik-baik, dua kali mulai agak keras, dan ketiga kalinya saya berteriak sekencang-kencangnya di depan pintu ruang makan dan mereka semua berlarian menyembunyikan diri ke kamar masing-masing. Kalau ada tetangga yang belum tidur malam itu, mungkin akan mendengar suara saya dengan sangat jelas.
            Suatu kali, kisah yang sama terjadi, sekitar pukul 23.00 ada yang bangun dan berlari-lari dengan menutup kepala pakai ember tempat sampah, ada yang merangkak seperti mengintai musuh yang hendak ia tangkap dan macam-macam hal yang lucu terjadi. Kadang saya tertawa sendiri melihat hal-hal yang menarik itu. Ini benar-benar dunia yang asyik dan menyenangkan, tapi menjadi tidak asyik karena mengganggu waktu tidur. Nah, pukul 23:55 kembali saya mendengar semua pintu kamar terbuka dan peserta baik laki-laki maupun perempuan semuanya ikut bangun. Mendengar bunyi-bunyi yang mengusik telinga, saya mulai keluar, hendak memakai jurus teriak sekencang-kencangnya biar mereka semua pada lari dan tidur kembali. Saya keluar pelan-pelan dan mengamat-amati, ternyata mereka semua menuju ruang konferensi. Saya berdiri dekat kamar mandi di Civita I, saya hampir meneriaki mereka. Belum sempat saya berteriak, saya melihat anak-anak itu semuanya berlutut di lantai. Salah satu dari antara mereka mengajak teman-temannya untuk memulai doa angelus. “Dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus. Amin. Maria diberi kabar oleh Malaikat Tuhan…” demikian mereka berdoa. Melihat apa yang mereka lakukan, saya sangat malu malam itu. Untung saya tidak berteriak kepada mereka. Kalau saya berteriak tentu meraka akan mengatakan, “maaf Frater kami mau doa angelus” betapa malunya saya terhadap anak-anak dan para pendamping mereka jika hal itu terjadi. Pelan-pelan saya mengundurkan diri dari tempat saya berdiri dekat kamar mandi dan masuk kamar. Saya menertawakan diri saya sendiri. Anehnya, sesudah mengundurkan diri diam-diam, sampai di kamar, saya tidak juga berdoa angelus.
            Dari pengalaman kecil ini, adik-adik kecil itu telah mengajari saya untuk berdoa secara disiplin. Mereka mengajari saya, bahwa hendaknya tidak cepat menaruh stereotype pada setiap orang karena apa yang saya pikirkan belum tentu sesuai dengan kenyataannya. Mereka mengajari saya untuk mengisi hidup ini dengan gembira. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari, mengapa? Karena anak-anak sesudah dimarahi malam harinya, esoknya mereka sudah lupa dengan semua itu dan kembali bersahabat dengan pendamping tanpa takut asalkan pendamping mau bersahabat dengan mereka.
            Untuk dapat masuk dalam dunia kaum muda serta anak-anak pendamping dituntut untuk dapat masuk ke dalam dunia mereka. Dunia generasi sekarang adalah dunia yang penuh dengan kejutan dan mereka bergerak lebih cepat daripada pendamping, maka pendamping perlu mengimbangi hal itu yakni dengan memiliki pengetahun tentang hal-hal yang sedang tren bagi kaum muda.
           
“Ter… nanti ada outbound yach?”
            Ada hal yang menarik lainnya yang saya amati dalam berbagai pendampingan, baik bagi kaum awam maupun religius. Hampir di setiap pendampingan entah itu dalam retret maupun rekoleksi hal yang selalu diminta adalah “jangan lupa ada outbound yach”. Outbound, seolah menjadi bagian penting dari sebuah rekoleksi atau pun retret. Pernah suatu kali saya diminta untuk mengisi rekoleksi sehari bagi kaum muda. Acaranya mulai jam 09.00-14.00 lalu tutup dengan misa. Dari panitia, saya diberi jadwal, jam 09.00-10.00, sesi dari frater, selanjutnya outbound. Bayangkan dalam waktu yang sangat singkat, sempat-sempatnya, outboundmenjadi prioritas yang utama. Saya lalu bertanya pada panitia, mengapa jadwalnya demikian? “Sesuai evaluasi tahun yang lalu, peserta mintanya outbound” jawab panitia tersebut. Akhirnya saya mengatakan, “maaf, saya dalam pendampingan tidak bertujuan menyenangkan peserta, tapi saya mau mendidik mereka”.
            Dari pengalaman di atas tampak bahwa tradisi rekoleksi maupun retret dalam Gereja Katolik sebagai sebuah wadah bagi retretan untuk berdiam diri dan berefleksi mulai bergeser maknanya. Rekoleksi atau retret berbeda dengan wisata rohani, berbeda dengan rekreasi. Tentu saja kita menyesuaikan dengan tuntutan zaman, namun jangan sampai kita kehilangan nilai di balik rekoleksi atau retret yang sesungguhnya.
            
Uang banyak atau umur panjang?
            Pada pesta ulang tahun berdirinya Civita Youth Camp ini, saya turut bergembira dan dalam nada syukur saya ingin mengucapkan proficiat dan sukses selalu, semoga air hidup itu terus mengalir dari sumbernya sehingga tidak berhenti mengalir dalam perjalanan untuk memuaskan dahaga para peziarah dalam dunia ini yang mencari-Nya. Saya ingin mengutip sebuah kisah inspiratif yang pernah saya dengar.
Ada seorang pemuda yang sangat benci dengan ibunya yang amat cerewet, suka ngomel dan selalu mengatur, dan seringkali mengirim uang untuknya terlambat. Karena hidupnya begitu susah, ia pun berdoa pada Tuhan. Lalu Tuhan datang dan mengatakan padanya, silahkan anda meminta tiga permohonan dan akan saya kabulkan. “Benaran nich Tuhan? Nggak bohongkan?” katanya kepada Tuhan. Ia pun memohon supaya ibunya meninggal. Benaran Tuhan datang, lalu seketika ibunya meninggal. Ia berdiri di dekat peti ibunya dan pura-pura menangis. Ia lalu lihat mayat ibunya lalu dia mengatakan ”Huh… dasar perempuan cerewet”.
Datanglah teman-temannya mereka juga menangis. Yang pertama menangis dan menyebutkan bahwa ibu inilah yang banyak menolong dia, saat kesulitan dan membantu keluarganya. Lain lagi datang menyebutkan bahwa ibu ini orang paling baik dari yang pernah ia kenal, sangat murah hati, perhatian dan bekerja keras untuk kebaikan banyak orang. Pemuda itu pun jadi sadar, “wah ternyata ibuku orang baik”. Ia lalu memohon pada Tuhan. “Tuhan kenapa setelah meninggal saya baru mengerti bahwa ibuku seorang yang paling baik dan saya tahu dari orang lain. Aku kan masih ada dua permintaan, kalo gitu hidupin kembali donk ibu gue”. “Benaran nich” Tuhan bertanya. “Yach benaran” jawab pemuda itu. “Nggak nyesal?” Lalu Tuhan menghidupkan kembali ibunya.
Sekarang tingal satu permintaan, ia bingung harus minta apa. Lalu ia bertanya pada teman disamping kosnya. “Bro… Tolongin gue donk, gue bingung nich, Tuhan itu baik banget ama gue, Dia bilang aku boleh minta 3 permintaan dan sekarang tinggal satu lagi”. “Wah kalo itu, gampang bro…minta aja uang banyak, kalo elo punya uang banyak loe bakal dapat buat apa aja, mau liburan kapan aja, mau kemana aja, mau makan apa aja segalaya ada”. “Hmmm…benar juga, tapi masih bingung nich, nanya teman yang satu lagi ah”. Lalu ia bertanya pada teman disebelahnya ”Bro gue masih bingung mau minta apa ya ama Tuhan”. “Itu gampang coy…hal paling ditakutkan manusia adalah mati. Nah, loe minta aja umur panjang, jadi yang namanya mati, nggak bakalan mampir ama elo. Loe bisa liatin anak cucu cecet dan cocot loe…loe jadi nggak ada matinye”. Pemuda itu makin bingung, kalo memilih hidup tapi nggak ada uang bagaimana? Kalau milih uang, tapi toh cepet mati, bagaimana? “Wah..benar-benar pusing gue”. Setelah capek pusing dan muter-muter, si pemuda ini menghadap Tuhan “Tuhan loe aja dech yang miliin gue, gue nggak tahu yang terbaik untuk gue”, doanya. “Ah loe nggak nyesel nich, ntar tidak sesuai gimana?” jawab Tuhan. “Ah Tuhan, gue yakin itu bakal jadi yang terbaik buat gue” Lanjut pemuda itu. “Okay bro…loe minta hati aja”. “Hah? Hati Tuhan? Untuk apa? Ntar dulu tadi gue dah nanya, loe ngak nyesal? katanya nggak, kok jadi kayak kesamber petir aja loe”. “Okay..okay…lanjutkan Tuhan” “Gue mau ngasih Hati yang selalu bersyukur. Walau pun loe punya banyak kekayaan, umur panjang, segalanya, tapi kalo loe tidak punya hati yang tahu bersyukur semua itu menjadi tidak berarti.” TIDAK ADA KEINDAHAN DALAM HAL YANG TIDAK DISYUKURI.
           
       Yogyakarta, 21 Januari 2014

P. RichardBilly, SSCC
Berikutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »