Menemukan Air Hidup yang Menyegarkan Dahaga Jiwa

Oleh R.D. Rafael Yoh. Kristianto

Tepat di awal Januari 2014 ini, Jakarta didatangi tamu yang datang rutin tiap tahun, yaitu banjir. Banjir besar yang diperhitungkan datang lima tahun sekali, pada tahun ini agak telat datangnya, yaitu tujuh tahun setelah Januari 2007. Air yang datang begitu melimpah itu tak sanggup ditampung oleh kota Jakarta, karena kurangnya lahan untuk daerah resapan, sungai, dan situ/waduk, sebab setiap sudut kota sudah dipenuhi oleh beton, aspal,
bangunan liar dan bangunan gedung. Saat bencana banjir itu datang dan melanda kota Jakarta, barulah warga masyarakat mulai mengeluh dan mencari penyebab dari akibat bencana banjir itu. Kebanyakan orang melihat bahwa itu merupakan tanggung jawab dari pemerintah dan lembaga terkait. Padahal jika ditelisik lebih jauh, bencana banjir yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh kelalaian dari anggota masyarakat sendiri yang kurang peduli pada lingkungan hidup, sebagai contoh perilaku membuang sampah sembarangan, membangun mall, pertokoan, apartemen, gedung, dan perumahan tanpa memperhatikan resapan air dan kelestarian alam, menempati lahan-lahan resapan air dengan mendirikan bangunan-bangunan liar, dan tidak peduli pada lingkungan hidup. Dari tanda alam itu kita mestinya bisa bercermin dan melihat keseluruhan perilaku kita selama ini sebagai wakil Allah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi bukan malah mengeksploitasi bumi. Lalu jika sudah terjadi demikian, siapakah pihak yang salah, sistemnya atau manusia yang membuat sistem itu?
Masalah banjir merupakan salah satu cerminan dari banyaknya masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan baik di dalam sistem pemerintahan Indonesia. Tidak beresnya sistem di dalam pemerintahan itu mulai terkuak dengan terungkapnya beberapa kasus korupsi yang melibatkan beberapa pejabat pemerintahan. Lepas dari berbagai masalah yang menghinggapi bangsa Indonesia, penulis melihat bahwa dasar masalahnya adalah kualitas pribadi manusia Indonesia. Ya, pembentukan karakter pribadi manusia yang matang dan integral merupakan jawaban dari pelbagai krisis yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tidak, zaman ini masing-masing orang berebut untuk mengutamakan kepentingan dirinya di atas kepentingan bersama atau orang lain, bahkan sikut-menyikut dan injak-menginjak menjadi budaya yang biasa untuk meraih suatu tujuan. Jika orang lain saja bisa dikorbankan demi suatu tujuan, apalagi alam yang tak dapat mengutarakan pendapat dan berbicara, pasti sudah dibabat habis demi mengeruk suatu keuntungan yang lebih besar. Berangkat dari fenomena tersebut, sekali lagi penulis menganggap bahwa pembentukan kualitas pribadi manusia yang matang dan integral itu merupakan tindakan yang harus diambil dalam jangka waktu yang dekat dan tak dapat ditawar-tawar lagi. Kita bisa lihat, tindakan itu sudah dimulai dari program Indonesia Mengajar yang digagas oleh Anies Baswedan. Melalui program Indonesia Mengajar, Bapak Anies Baswedan membentuk pribadi-pribadi muda agar memiliki karakter pribadi manusia yang peduli akan sesamanya yang jauh di pelosok pedalaman Indonesia dan sebagai tujuan utama yaitu, mencerdaskan kehidupan bangsa yang merupakan tujuan dan cita-cita luhur dari negara Indonesia (dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat). Di sana juga diselipkan tujuan bahwa setiap orang itu dilahirkan untuk menjadi pemimpin, maka sebagai pemimpin, orang harus memiliki integritas diri yang tinggi agar memiliki visi dan tujuan dalam hidup, dan yang lebih penting memiliki daya juang hidup yang tinggi menghadapi kerasnya tantangan yang ada di pedalaman. Melalui program itulah bisa terbentuk kualitas pribadi yang matang dan integral, dan yang lebih penting yang juga peduli akan kepentingan sesama dan kepentingan bersama. Maka, untuk menciptakan program itu dibutuhkan pelatihan selama delapan bulan untuk menjadikan para mahasiswa fresh graduateitu siap terjun di medan ‘pertempuran’ itu.
Nah, melihat contoh yang disebut di atas, penulis melihat bahwa tempat pembentukan karakter pribadi itu menjadi sangat penting di zaman ini. Civita merupakan salah satu sarana yang menyediakan sarana pembentukan karakter pribadi manusia yang matang, integral dan yang lebih utama menyentuh sisi spiritual yang mulai dilupakan orang zaman ini. Menurut penulis, kehadiran Civita sebagai lembaga yang ikut memperhatikan pendidikan para kaum muda menjadi sangat penting bagi kaum muda yang sedang mencari identitas diri. Civita yang berarti Air Kehidupan, memiliki arti kata yang sungguh indah. Lewat arti kata itu, sebenarnya kita bisa menggali bagaimana Civita menjadi Air Kehidupan bagi setiap orang (bukan hanya kaum muda, melainkan juga bagi orang tua) yang menginginkan kesejukan dan pemuas dahaga di tengah situasi kota Jakarta yang sibuk, panas, dan penuh dengan kepenatan karena kemacetan kota Jakarta. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa orang Jakarta saat ini juga membutuhkan waktu untuk mengambil jarak dari pelbagai kesibukannya dari rutinitas harian dan mencoba untuk hening dan melihat kedalaman dirinya untuk merenung dan berrefleksi atas hidup yang sudah dilewatinya. Maka, yang perlu dibina dan dilestarikan dari yang sudah ada di Civita sebagai rumah retret dan rumah pembentukan kepribadian adalah perlunya pembiasaan pada para peserta retret dengan (1) keheningan, (2) pembentukan kepribadian yang terbuka pada Allah dan sesama, (3) kedisiplinan yang membentuk pribadi utuh.
Pertama, keheningan menjadi sesuatu hal yang asing bagi orang zaman ini sebab mereka sudah terbiasa dengan keramaian dan suasana hingar-bingar. Sehingga ketika orang diajak untuk hening dan sendiri melihat dirinya bersama Tuhan menjadi hal yang sulit. Saat ini banyak kutemui kecenderungan orang-orang modern untuk mencari kebahagian melalui tempat-tempat hiburan atau perangkat teknologi modern yang menawarkan kebahagiaan semu dan berujung pada pemuasaan hasrat/kesenangan manusiawi. Semuanya itu selalu menawarkan hingar-bingar (sisi audio), pemuasaan hasrat visual, pemuasaan emosi/perasaan semu sesaat, serta tak terciptanya jarak di belahan bumi. Di sana orang diajak selalu bersentuhan dan terhubung dengan orang lain. Tak tersedianya waktu untuk mengambil jarak dengan yang lain dan diam dalam kesendirian menjadi hal yang asing, bahkan dijauhi karena memunculkan ketakutan. Mungkin tujuan pemuasaan itu memang layak didapatkan setelah mereka berjerih lelah dalam pekerjaan dan aktivitas harian mereka. Namun, apakah tujuan mereka bekerja semata-mata hanya untuk mencari kebahagiaan semu itu? Jika tujuannya hanya sampai pada titik itu, maka sia-sialah kerja keras yang mereka lakukan. Berangkat dari fenomena itu dan pengalaman pribadi untuk menemukan kesejatian diri, penulis mencoba berbagi dalam sharing pengalaman ini.
Lima tahun lalu ketika penulis TOP di Civita dan sempat juga terbawa pada pencarian kebahagiaan semu itu dengan hanya memfokuskan diri pada pekerjaan sebagai pendamping retret. Hidup hanya untuk bekerja dan bekerja setiap hari. Satu semester ritme itu terlewati, namun pada akhir semester, yang didapatkan hanya “kekosong”, seolah hidup dan panggilan berjalan tanpa makna. Justru saat tidak ada peserta retret atau mendampingi retret, mengalami kesepian. Ketika itulah penulis takut untuk berhadapan dengan diri sendiri dan mencari proyeksi untuk menutupi ketakutan itu. Namun, itu semua baru disadari justru dua bulan setelah itu. Di sanalah penulis merasa diketuk oleh suatu kenyataan bahwa sebagai calon imam yang nantinya akan selalu hidup sendiri dan selibat, mengapa harus takut pada kesendirian. Saat itu rekan sepanggilan pun mengingatkan bahwa ada kalanya dalam hidup orang harus mengambil jarak dengan dunia luar dan yang lain dan berhadapan dengan diri sendiri. Itulah turning point—titik balik—dari pergumulan dengan diri sendiri dan keheningan. Tiga bulan kemudian, baru disadari bahwa memang dalam hidup harus ada fase di mana manusia harus berhadapan dengan dirinya sendiri untuk menemukan kesejatian hidup dan bertemu dengan Tuhan, Sang Kesejatian Hidup. Buah dari pergumulan itu akhirnya dirasakan pada akhir semester kedua. Di sanalah kesepian dapat diubah menjadi keheningan, waktu di mana bersentuhan dengan inti setiap manusia yaitu hati dan saat dapat berkomunikasi dengan Allah yang memanggil. Dengan bekal pengalaman itulah, penulis mengolah hidup pribadi dan rohani dengan lebih optimis, karena dalam keheninganlah seorang manusia bisa menemukan kesejatian hidup dan sungguh-sungguh berbicara dengan Sang Kesejatian Hidup, yaitu Allah.
Kedua, keterbukaan pada Allah dan sesama menjadi buah dari keheningan yang ditemukan saat mengolah diri dan merenungkan relasi dengan Allah dalam keheningan doa. Keterbukaan itu juga yang membawa manusia pada kepedulian kepada orang lain atau sesama yang melahirkan rasa empati. Maka, ketika dapat menemukan keheningan dalam diri dan hidup, di sanalah penulis bisa menggali banyak hal untuk semakin membuka diri menjadi pribadi yang tahu akan keberadaan dirinya secara utuh dan akhirnya membawanya bukan melulu melihat kepentingan diri sendiri sebagai yang utama, melainkan juga ada orang lain yang juga menjadi partner—rekan kerja—dalam hidupnya. Di sanalah penulis mengajak untuk membuka mata, untuk mencintai orang lain karena sudah menyadari bahwa Allah sudah lebih dahulu mencintai dengan radikal hidup setiap orang.
Ketiga, kedisiplinan yang membentuk pribadi semakin utuh. Disiplin berasal dari kata disipulus, dalam bahasa Inggris disciple artinya murid. Menjadi murid artinya mau memposisikan diri sebagai orang yang diformat atau dididik. Dengan kata lain mau menjadi pribadi yang dengan rendah hati mau memposisikan diri sebagai murid yang sedang belajar. Belajar bagi penulis merupakan suatu proses di mana dapat bergumul untuk mengetahui kebenaran menuju pada kesempurnaan melalui suatu usaha guna mendisiplinkan diri dan mengontrol diri (tidak terbatas pada proses belajar formal, tapi juga proses belajar melalui pengalaman hidup). Proses inilah yang selalu penulis jadikan pemicu untuk hidup studi penulis dan bagi penulis proses ini akan terus berlangsung bukan hanya selama formasio di seminari, tetapi juga dalam seluruh jalan panggilan hidup penulis sebagai imam. Sebab belajar itu tidak memiliki batas waktu, dan selama masih mau menjalani hidup ini seorang pribadi mendapat pengalaman bagaiman terus belajar dan belajar dari pengalaman hidup. Penulis melihat, belajar adalah proses terus menerus, sebab dari semangat itulah penulis mulai menikmati hidup studi, walaupun itu menuntut ketekunan dan kedisiplinan. Hidup studi akhirnya perlu ditanamkan sebagai sebuah pola hidup. Dalam hidup panggilan hal itu akan selalu menjadi bagian yang penting. Penulis mengibaratkan dirinya sebagai manusia yang dalam hidupnya selalu membutuhkan asupan makanan setiap hari. Asupan makanan itu adalah keinginan diri penulis untuk terus belajar dan belajar guna mendapatkan kebenaran dalam hidup.
Dari perayaan Lustrum 8 Civita ini, penulis berharap banyak dari kehadiran Civita di tengah kehidupan orang Jakarta yang penuh kepenatan. Maka, belajar dari kebiasaan yang dilestarikan oleh Civita, yaitu keheningan, keterbukaan, dan kedisiplinan, penulis berharap kehadiran Civita menjadi Air Kehidupan bagi orang-orang yang membutuhkan pemuas dahaga dalam kehidupan manusia modern zaman ini. Selamat HUT ke-40 bagi Civita. Salam.

R.D. Rafael Yoh. Kristianto


Berikutnya
« Prev Post
Sebelumnya
Next Post »